Hukum Taurat Menyatakan dan Menggerakkan Dosa
Mengingat bahwa Hukum Taurat kadang lebih dipahami sebagai 10 Hukum Musa (Dasa Titah), perlu juga diketahui bahwa Hukum Taurat di sini dapat juga dipahami sebagai ketetapan atau peraturan yang ditetapkan sendiri oleh Allah, sehingga dosa dapat juga dipahami sebagai tindakan yang melawan kehendak Allah yang baik, benar, kudus, dan sempurna itu (bd. Rm 7:12, 14, dab). Selain itu, perlu memahami juga bahwa pada masa hidup Paulus, ada berbagai aturan yang ditetapkan oleh pemimpin-pemimpin Agama Yahudi yang merupakan aturan-aturan tradisi yang diterapkan menyangkut detail tertentu bagi pelaksanaan Hukum Taurat. Dan di sini jelas Hukum Taurat yang dimaksud oleh Paulus.
Dalam 5:13 rasul Paulus menyatakan bahwa apa yang kemudian dikenali sebagai dosa oleh keberadaan Hukum Taurat telah ada di dunia sebelum Hukum Taurat diberikan, namun dosa tersebut tidak diperhitungkan tanpa hukum tersebut (7:7; bd. 4:15). Ditegaskannya juga bahwa tanpa Hukum Taurat dosa mati (7:8). Apa maksudnya? Secara sederhana dapat dipikirkan bahwa bilamana tiada peraturan, maka tak akan mungkin akan ada pelanggaran. Menurut Dr. Th. van den End (yang dikutip juga oleh William Barclay, PEMAHAMAN ALKITAB SETIAP HARI Roma, hal. 316), kata ‘mati’ dalam nats 7:8 tidak usah diartikan atau ditafsirkan sebagai ‘tidak ada, tidak hadir’. Menurut beliau, kata tersebut lebih baik dipahami dalam pengertian ‘tidak bergerak, tidak giat’ sebagaimana ‘ular Taman Eden’ yang digambarkan sebagai ular hidup yang tidak dapat berbuat apa-apa (=menggodai manusia pertama) sebelum Allah memberi satu perintah kepada mereka, yaitu larangan memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (Kej 3;lih. Kej 2:16-17). Dengan adanya peraturan atau perintah yang ditetapkan Allah tersebut, barulah ‘ular Taman Eden’ itu dapat bangkit dan menyerang – dan membunuh manusia.
Kata menggerakkan pada sub judul di atas dipilih untuk menunjukkan bagaimana dosa yang semula ‘tidak aktif’ kini “..membangkitkan di dalam diriku rupa-rupa keinginan” (7:8a) setelah Hukum Taurat tersebut ditetapkan Allah. Perlu untuk tetap mengingat bahwa hal tersebut bisa terjadi karena sebelumnya (=sebelum Hukum Taurat diberikan), dosa telah ada, tetapi ia mati (bd. 7:8-9). Artinya keberadaan Hukum Taurat sama sekali berbeda dengan keberadaan dosa, sehingga adalah keliru untuk mengatakan Hukum Taurat adalah dosa (Bd. 5:13, 7:7).
Peranan hukum bagi kebaikan manusia dalam hal ini dapat dipahami dengan menjawab sebuah pertanyaan, adakah ketaatan memiliki makna bagi manusia tanpa ada peraturan atau perintah untuk ditaati? Bila demikian, relasi antara manusia dengan Allahnya oleh hukum makin berarti, oleh hukum yang sama pula dapat terjadi yang sebaliknya. Kebenaran dasar ini jugalah yang digunakan rasul Paulus dalam suratnya bagi jemaat di kota Roma tersebut untuk menjawab orang-orang yang salah mengerti pemahamannya tentang dosa (Lih. 6:1, 15; 7:7, dab. Bd. 7:12, 14, 8:3, 4, 9:4, 10:4, dsb).
Dosa dan Daging/Kedagingan
Rasul Paulus menggunakan kata Yunani σάρξ, sarx, untuk menyatakan apa yang dimaksudkannya dari istilah daging. Saya sengaja menggunakan dua kata pada sub judul di atas untuk merangkum semua makna yang dimaksudkannya dari kata sarx tersebut. Dalam surat Roma, daging atau kedagingan dipertentangkan dengan keinginan Roh (8:5, 6, dab). Artinya, apa yang rasul Paulus maksudkan ketika beliau menggunakan istilah ‘daging/kedagingan’ ialah juga mencakup keinginan manusia yang identik dengan dosa, bahkan keinginan dosa itu sendiri. Jadi, penggunaan istilah ‘daging’ juga berbicara tentang tabiat manusia yang berdosa dan atau dikuasai oleh dosa, yang menjadi pangkal dosa, terpisah dari Kristus, dan juga segala sesuatu yang mengikat manusia kepada dunia dan tidak taat kepada Allah. Daging adalah bagian yang rendah dari tabiat manusia.
Sebagaimana rasul Paulus, tentu saja setiap kita tidak boleh memandang rendah ‘tubuh daging’ kita seperti yang dianut oleh para filsuf seperti Plato dan keyakinan-keyakinan yang serupa bahwa daging (=tubuh) lebih rendah daripada roh. Sebelum kejatuhan manusia pertama, semua yang diciptakan Allah adalah baik (Kej 1:3, dab). Dari sudut ini, yang menjadi lawan ‘daging’ bukan roh manusia, melainkan Roh Allah (Baca: Dr. Th. van den End, Tafsiran Alkitab SURAT ROMA, hal. 303).
Dosa dan Kasih Karunia
Kasih Karunia, khèn (Ibrani) berarti perbuatan atasan yang menunjukkan kepada bawahannya tindakan kasih (=kebaikan) padahal sebenarnya bawahannya itu tidak layak menerimanya. Juga bermakna perbuatan Allah kepada manusia yang berdosa. Sebaliknya, tidak ada manusia yang dapat menunjukkan khèn kepada Allah. Secara harfiah berarti ‘membungkuk’, lalu juga ‘memberi kasih karunia’, ‘mengasihani’ (bd. Kel 33:19, Mzm 123:3). Kata kerja tersebut bisa digambarkan ketika seorang ibu yang membungkuk untuk memungut anaknya yang telah jatuh. Dalam Perjanjian Baru, khèn diterjemahkan kharis (Yunani); kata kerja kharizesthai dipakai untuk menunjukkan pengampunan, dari manusia (terhadap sesamanya) dan juga dari Allah (lih. Kol 2:13, 3:13, Ef 4:23). Dengan demikian menjadi jelas bahwa ‘kasih karunia’ adalah perbuatan Tuhan kita yang penuh pengasihan.
Dalam beberapa pasal dalam kitab Roma ini, rasul Paulus telah memperlihatkan kepada pembaca suratnya bagaimana dosa dengan tanpa ampun telah menjalar ke semua orang. Karena dosa satu orang, semua orang kini terhisab ke dalam penghakiman yang berujung maut (5:16), dan keadaan tersebut diperparah dengan ketidakmampuan Hukum Taurat karena tidak berdaya oleh daging untuk membebaskan manusia dari dosa (8:3), atau dengan kata lain Hukum Taurat yang dianggap oleh sebagian orang mampu menjadi jawaban atas problem dosa dan maut sebagai dampaknya justru berbalik ‘menyerang’ mereka dengan menyatakan eksistensi dosa itu sendiri dalam integritas kehidupan setiap manusia tanpa terkecuali. Bahkan rasul Paulus juga menunjukkan kepada mereka bagaimana dosa yang ‘dipertegas’ oleh Hukum Taurat itu sendiri juga membelenggu dirinya sendiri! (7:24).
_________________________________________________________________________
Sekali lagi, rasul Paulus jelas menyatakan dalam suratnya tersebut bahwa tidak ada jalan lain bagi pembebasan manusia dari kutuk dosa selain di dalam dan melalui Yesus Kristus, yaitu perwujudan kasih karunia Allah kepada siapa saja yang percaya.
Akhir kata, kekuatan kita bukanlah terletak pada siapa kita dalam pandangan kita, namun pada siapa kita dalam pandangan Allah, yang telah menebus dan memanggil kita untuk melakukan pekerjaan yang baik yang telah dipersiapkan-Nya sebelumnya. Amin.
Baca juga tulisan sebelumnya:
Komentar pertama...
BalasHapusAndy
haha,,, thanks Bro.
BalasHapusBaru liat.... Opa Chrissss sekarang nulisnya di blog toh? ;-)
BalasHapusnyobi-nyobi Cu,,, Lagian materinya kebanyakan ayat. Jd mending dipublish di luar Komp. Btw, sempet jg di iklankan di sana :mrgreen:
BalasHapusThanks udh mampir ya Cucu Princesss...
Mantap uiyyy...
BalasHapusMulai nakal lagi pake blog.. ha..ha..
Pinkq
Pinq: Kau gurunya! wkwk
BalasHapus