Tidak mungkin ada kitab yang suci, atau benar-benar suci. Siapapun boleh saja mengklaim bahwa kitab keyakinannya adalah kitab suci, namun ada baiknya dia membuka kamus bahasa untuk memahami arti klaimnya tersebut. Pertama, kata SUCI, yang berarti bersih, bebas dari dosa/cela/noda. Kedua, kata KITAB, yang berarti buku, dan/atau wahyu Tuhan yang dibukukan. Buku tidak mungkin bersih atau benar-benar bebas dari noda. Media untuk menulis yang digunakan jelas tidak suci. Buktinya, ia dapat rusak atau menjadi kotor. Jangan lupa bahwa konsep suci adalah konsep yang hanya dikenakan pada Allah. Kesucian itu tidak bisa dipengaruhi oleh sesuatu dari luar sehingga ia kemudian menjadi tidak suci (berubah), sebagaimana sesuatu yang sempurna menjadi tidak sempurna. Yang mungkin adalah yang tidak sempurna menjadi sempurna. Dari dua definisi kata di atas, kata KITAB SUCI hanya mengandung “kesucian” dalam makna “wahyu Tuhan”. Namun, itu bukanlah kitab suci. Itu adalah ISI dari sebuah kitab yang dikatakan sebagai kitab suci. Singkatnya, apapun yang dikatakan kitab, ia pasti dibukukan, baik dengan bahan yang tidak suci, maupun oleh manusia yang tidak suci.
Kesucian sebuah kitab adalah pada kesucian Tuhan, yang memberikan wahyuNya untuk dicatat. Wahyu itu juga suci karena keluar dari Yang Suci, dan bukan pada kitab di mana firmanNya dicatat; kitab yang bisa ternoda atau menjadi kotor dan rusak dimakan ngengat. Membaca firmanNya melaluui sebuah kitab seharusnya mengingatkan kita pada pemilik perkataan itu. Dengan demikian kita menyadari kesucian dari apa yang dibaca tersebut. Menurut anda, jika saya mengatakan sebuah kutipan dari firmanNya, apakah saya menjadi suci? Lantas menurut anda siapa yang mengatakan perkataan itu, saya atau Tuhan? Karena itu, ada baiknya memperlakukan sebuah kitab dengan benar dan sewajarnya tanpa harus bertopeng dalam klaim yang anda bisa pikirkan sendiri kebenarannya. Kitab itu bukan untuk diperlakukan sebagaimana kita kepadaNya meski melaluinya kita tahu bagaimana memperlakukanNya sebagai Tuhan, Yang (Maha) Suci. Sengaja saya meletakkan kata maha dalam kurung untuk menunjukkan bahwa tanpa kata itu kesucianNya sedikitpun tidak terpengaruh; berkurang atau bertambah. Itu hanya untuk menunjukkan transendenitasNya yang melampaui makna sebuah kata.Sedikit tentang fenomologi bahasa, klik di sini
Satu lagi alasan mengapa tidak ada kitab yang suci adalah karena kitab itu sendiri yang mengatakannya demikian. Darinya bisa dibaca firmanNya yang mengatakan Dia Allah Yang Esa, yang berarti tidak ada Tuhan selain Dia. Dia suci, maka tidak ada yang suci selain Dia. Artinya, mengatakan ada yang suci selain Dia, sama saja mengatakan ada Allah lain selain Dia. Karena itulah, secara a priori, setiap teisme bisa yakin bahwa tidak seorang nabi pun yang suci. Ini pun didukung dengan fakta historis bahwa setiap nabi mengalami kematian alias berubah dari hidup menjadi tidak hidup.
Yang suci, pasti dan harus sempurna. Yang sempurna, pasti dan harus kekal. Yang kekal, pasti dan harus tidak mengalami perubahan sedikitpun dalam dirinya. Karena itu, jika wahyuNya adalah perwujudan diriNya bagi manusia, maka wahyuNya juga suci, sempurna, dan kekal. WahyuNya tidak mungkin dikotori oleh apapun karena ia bukan rangkaian kata-kata yang diucapkan seseorang pun yang tertulis di atas sebuah kertas. Kesucian sedemikian seperti sensasi yang dirasakan ketika menikmati kesejukan semilir angin namun ia bukanlah angin itu sendiri. Karena firmanNya sempurna, maka tidak dimungkinkan menambahi atau menguranginya, seakan-akan ada yang salah dari suatu perkataanNya. Dan, karena firmanNya itu kekal, maka ia tidak akan mengalami perubahan. Sangat tidak mungkin sebuah perkataan yang dikatakan Allah sebagai wahyuNya, berubah karena sesuatu yang berasal dari luar diriNya. Seakan-akan Dia Allah yang hidup dalam dimensi waktu dan ruang, di mana Dia mengalami hidup hari kemarin, kini, dan esok; Allah yang tidak konsisten pada perkataanNya sendiri. Karena itu, apakah yang kita baca dari kitab suci kita? Adakah kita menemukan perkataan yang menunjukkan firmanNya yang suci, sempurna, dan kekal itu? Ataukah kita membaca dari dalamnya yang menunjukkan sikap Allah yang tidak sesuai dengan keberadaan keallahanNya; yang tidak suci, tidak sempurna, dan tidak kekal?
Dari uraian di atas jelas juga bahwa kesucian sebuah kitab tidak bergantung pada bahasa yang digunakan. Tidak ada satupun bahasa di dunia ini yang lebih suci dari bahasa lainnya. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini, termasuk bahasa, bahkan kata, yang suci sebagaimana Allah karena hanya Dia yang suci. Apakah ada perbedaan antara kata “suci” dengan kata “kotor” dalam hal kesucian sebuah kata? Mana yang lebih pantas diucapkan antara dua perkataan ini: “Kamu orang yang sok suci” atau “Janganlah kamu mengatakan hal-hal yang kotor”? Apakah ada perbedaan makna antara kata “suci” dengan “holy”? Karena itu, di manakah kesucian sebuah kitab yang dikatakan suci itu sebenarnya? Apakah perlakuan kita terhadap sebuah kitab karena meyadari sepenuhnya makna kesuciannya ataukah karena menganggapnya suci sebagaimana Allah suci? Dunia ini begitu luas dan terbuka bagi setiap pemikiran untuk jujur pada kenyataan apa adanya, sehingga klaim yang tidak berdasar hanya bisa terus tinggal bersembunyi dibalik kepicikan dan fanatisme yang sempit.